Sabtu, 20 Oktober 2012

Putroe Neng, Pemakan 99 Kemaluan Laki-laki


Aceh, ternyata banyak menyimpan wanita-wanita perkasa. Tidak hanya Syeikh Keumala Hayati yang mampu melawan merubuhkan 100 prajurit Portugis dalam medan Pertempuran pada tahun 1600-an, juga ada wanita perkasa lainnya yang kerap menjadi ikon pejuang wanita Indonesia, Cut Nyak Dien yang dengan segenap jiwa raganya mengorbankan segala yang dimilikinya agar Indonesia tidak jatuh ke tangan Penjajah, begitupun dengan Cut Meutia. Melalui mereka Indonesia dapat bertahan, dan Aceh adalah salah satu daerah yang tidak pernah dikuasai oleh Penjajah.
Berdasarkan hasil kajian sejarah, ternyata tidak hanya tiga orang yang telah disebutkan sebagai perempuan perkasa Aceh yang masa lampu dikenal dengan nama Darod Donya Darussalam. Terdapat perempuan yang dengan gagah menumbangkan lelaki perkasa, tidak hanya di medan tempur, tapi juga di Ranjang pengantin. Sebanyak 99 laki-laki yang menjadi suaminya telah menjadi korban keganasan peremuan ini. Ialah Putroe Neng, perempuan perkasa ‘pemakan’ kemaluan 99 laki-laki dari suaminya.
Putroe Neng, adalah perempuan perkasa yang diceritakan oleh Ayi dalam Novelnya yang berjudul sama ‘Putroe Neng, Tatkala Malam Pertama Menjadi Malam Terakhir Bagi 99 Lelaki’.
Inti novel tersebut berada pada bab paling awal bercerita tentang kegagahan seorang Panglima Perang, Nian Nio Liang Khie yang mengubah namanya menjadi Potroe Neng setelah menikah dengan Sultan Meurah Johan. Walaupun pada akhirnya bertekuk lutut di medan tempur, namun tidak pernah menyerah di medan ranjang. Meurah Johan bersimbah darah oleh senjata mematikan yang dimiliki oleh Putroe Neng, Meurah Johan adalah laki-laki pertama yang merasakan dahsyatnya senjata pamungkas Potroe Neng. Walaupun tidak pernah bermaksud untuk membunuh suaminya sendiri, namun senjata yang dimiliki oleh Putroe telah memakan korban pertama, senjata itu adalah racun yang ditanam dalam kemaluannya sendiri yang dipasang oleh neneknya Khie Nai-nai. Di atas ranjang malam pertamanya, Sultan Meurah Johan tergeletak dengan tubuh yang sudah membiru. Sebiru lautan lamuri di siang hari (hal 11).
Meurah Johan sendiri adalah seorang pangeran yang telah mengalahkan pasukan yang dipimpin oleh Putroe Neng di medan tempur.
Kekalahan ini mempertemukan Sultan Meurah Johan dengan Laksamana Nian Nio di pelaminan. Demi menyatukan kerajaan-kerajaan yang ada di Darud Donya Darussalam, Meurah Johan yang telah menjadi menantu Raja Indra Saktipun menerima keinginan dari Nian Nio. Namun malang segera menjemputnya. Meurah Johan menjadi korban pertama keganasan kemaluan Niaon Nio yang mengandung racun mematikan. Dari sinilah kisah 99 lelaki yang menjadikan malam pertama sebagai malam terkahirnya dimulai. Bukan keinginan Putroe Neng untuk menjadikan malam pertama menjadi malam terakhir bagi suami-suaminya, karena hal tersebut sebagai antisipasi dan senjata ampuh yang ditanam oleh neneknya, Khie Nai-nai, agar Putro tidak menjadi korban keganasan perang di luar ancaman fisik lainnya. Khie Nai-nai, neneknya telah memasukan ramuan ke dalam kemaluan Putro saat ia beranjak remaja.
Kesadaran Putroe Neng akan bahaya racun tersebut tidak menyurutkan para pemuja kecantikan untuk menikahi Putroe. Mereka terlalu bangga dan selalu mengatakan bahwa nanti akan bermalam bersama Putro, namun tidak ada yang pernah mengatakan bahwa tadi malam telah bercinta dengan Putro. Mereka semua tewas di ranjangnya sendiri, termasuk seorang Tabib yang berniat mengobatinya (hal. 322).
Hanya Syeikh Syiah Hudamlah yang bisa mengatakan bahwa dia telah bermalam dengan Putro karena hanya dialah yang mampu mengeluarkan racun mematikan tersebut. Puluhan tahun menjadi guru Putroe Neng menjadikan Syeikh mengetahui apa sebenarnya yang tertanam dalam kemaluan Putroe. Syeikh mampu mengeluarkan racun tersebut tanpa disadari oleh Putroe sendiri. Kekhawatiran murid-murid Syeikh yang menganggap bahwa Syeikh mencari lubang kematian dengan menikahi Putroe tidak terbukti. Namun tidak sia-sia doa sepanjang malam yang dipanjatkan oleh murid-murid Syeikh selama malam pertama, doa tersebut bersambut dengan keahlian syeikh sehingga Putroe tidak kembali memakan korban. Setelah malam pertama, Syeikh datang ke surau bersama Putro yang membuat gembira para muridnya (hal. 360).
Membaca Novel ini kita akan diajak penulisnya berkeliling-keliling ke wilayah kerajaan Aceh masa lampau, terutama menyampaikan pesan tentang kearifan bangsawan Islam yang tumbuh di Aceh. Islam bukanlah agama perang, bahkan seorang muslim akan mengulurkan tangannya kepada nonmuslim jika benar-benar membutuhkannya seperti dilakukan oleh kerajaan Peureulah dan Syeikh Syiah Hudam. Kearifan Islam inilah sesungguhnya yang menjadi daya tarik bangsa lain terhadap Islam seperti ditunjukan oleh kerajaan Indra Purba. Penulis dengan baik berhasil menggambarkannya. Novel ini pun mengajarkan bahwa sebuah do’a akan terkabul jika dibarengi dengan ikhtiar fisik sehingga mendapat hasil yang sempurna seperti dilakukan oleh Murid dan guru (Syeikh Syiah Hudam) saat melewati malam pertamanya.

#MOHD ABUDUS SYAKUR

Tidak ada komentar: