Aceh, ternyata banyak menyimpan wanita-wanita perkasa. Tidak hanya
Syeikh Keumala Hayati yang mampu melawan merubuhkan 100 prajurit Portugis dalam
medan Pertempuran pada tahun 1600-an, juga ada wanita perkasa lainnya yang
kerap menjadi ikon pejuang wanita Indonesia, Cut Nyak Dien yang dengan segenap
jiwa raganya mengorbankan segala yang dimilikinya agar Indonesia tidak jatuh ke
tangan Penjajah, begitupun dengan Cut Meutia. Melalui mereka Indonesia dapat
bertahan, dan Aceh adalah salah satu daerah yang tidak pernah dikuasai oleh
Penjajah.
Berdasarkan hasil kajian sejarah, ternyata tidak hanya tiga orang
yang telah disebutkan sebagai perempuan perkasa Aceh yang masa lampu dikenal
dengan nama Darod Donya Darussalam. Terdapat perempuan yang dengan gagah
menumbangkan lelaki perkasa, tidak hanya di medan tempur, tapi juga di Ranjang
pengantin. Sebanyak 99 laki-laki yang menjadi suaminya telah menjadi korban
keganasan peremuan ini. Ialah Putroe Neng, perempuan perkasa
‘pemakan’ kemaluan 99 laki-laki dari suaminya.
Putroe Neng, adalah perempuan perkasa yang diceritakan oleh Ayi
dalam Novelnya yang berjudul sama ‘Putroe Neng, Tatkala Malam Pertama Menjadi
Malam Terakhir Bagi 99 Lelaki’.
Inti novel tersebut berada pada bab paling awal bercerita tentang
kegagahan seorang Panglima Perang, Nian Nio Liang Khie yang mengubah namanya
menjadi Potroe Neng setelah menikah dengan Sultan Meurah Johan. Walaupun pada
akhirnya bertekuk lutut di medan tempur, namun tidak pernah menyerah di medan
ranjang. Meurah Johan bersimbah darah oleh senjata mematikan yang dimiliki oleh
Putroe Neng, Meurah Johan adalah laki-laki pertama yang merasakan dahsyatnya
senjata pamungkas Potroe Neng. Walaupun tidak pernah bermaksud untuk membunuh
suaminya sendiri, namun senjata yang dimiliki oleh Putroe telah memakan korban
pertama, senjata itu adalah racun yang ditanam dalam kemaluannya sendiri yang
dipasang oleh neneknya Khie Nai-nai. Di atas ranjang malam pertamanya, Sultan
Meurah Johan tergeletak dengan tubuh yang sudah membiru. Sebiru lautan lamuri
di siang hari (hal 11).
Meurah Johan sendiri adalah seorang pangeran yang telah mengalahkan
pasukan yang dipimpin oleh Putroe Neng di medan tempur.
Kekalahan ini mempertemukan Sultan Meurah Johan dengan Laksamana
Nian Nio di pelaminan. Demi menyatukan kerajaan-kerajaan yang ada di Darud
Donya Darussalam, Meurah Johan yang telah menjadi menantu Raja Indra Saktipun
menerima keinginan dari Nian Nio. Namun malang segera menjemputnya. Meurah
Johan menjadi korban pertama keganasan kemaluan Niaon Nio yang mengandung racun
mematikan. Dari sinilah kisah 99 lelaki yang menjadikan malam pertama sebagai
malam terkahirnya dimulai. Bukan keinginan Putroe Neng untuk menjadikan malam
pertama menjadi malam terakhir bagi suami-suaminya, karena hal tersebut sebagai
antisipasi dan senjata ampuh yang ditanam oleh neneknya, Khie Nai-nai, agar
Putro tidak menjadi korban keganasan perang di luar ancaman fisik lainnya. Khie
Nai-nai, neneknya telah memasukan ramuan ke dalam kemaluan Putro saat ia
beranjak remaja.
Kesadaran Putroe Neng akan bahaya racun tersebut tidak menyurutkan
para pemuja kecantikan untuk menikahi Putroe. Mereka terlalu bangga dan selalu
mengatakan bahwa nanti akan bermalam bersama Putro, namun tidak ada yang pernah
mengatakan bahwa tadi malam telah bercinta dengan Putro. Mereka semua tewas di
ranjangnya sendiri, termasuk seorang Tabib yang berniat mengobatinya (hal.
322).
Hanya Syeikh Syiah Hudamlah yang bisa mengatakan bahwa dia telah
bermalam dengan Putro karena hanya dialah yang mampu mengeluarkan racun
mematikan tersebut. Puluhan tahun menjadi guru Putroe Neng menjadikan Syeikh
mengetahui apa sebenarnya yang tertanam dalam kemaluan Putroe. Syeikh mampu
mengeluarkan racun tersebut tanpa disadari oleh Putroe sendiri. Kekhawatiran
murid-murid Syeikh yang menganggap bahwa Syeikh mencari lubang kematian dengan
menikahi Putroe tidak terbukti. Namun tidak sia-sia doa sepanjang malam yang
dipanjatkan oleh murid-murid Syeikh selama malam pertama, doa tersebut
bersambut dengan keahlian syeikh sehingga Putroe tidak kembali memakan korban.
Setelah malam pertama, Syeikh datang ke surau bersama Putro yang membuat
gembira para muridnya (hal. 360).
Membaca Novel ini kita akan diajak penulisnya berkeliling-keliling
ke wilayah kerajaan Aceh masa lampau, terutama menyampaikan pesan tentang
kearifan bangsawan Islam yang tumbuh di Aceh. Islam bukanlah agama perang,
bahkan seorang muslim akan mengulurkan tangannya kepada nonmuslim jika
benar-benar membutuhkannya seperti dilakukan oleh kerajaan Peureulah dan Syeikh
Syiah Hudam. Kearifan Islam inilah sesungguhnya yang menjadi daya tarik bangsa
lain terhadap Islam seperti ditunjukan oleh kerajaan Indra Purba. Penulis
dengan baik berhasil menggambarkannya. Novel ini pun mengajarkan bahwa sebuah
do’a akan terkabul jika dibarengi dengan ikhtiar fisik sehingga mendapat hasil
yang sempurna seperti dilakukan oleh Murid dan guru (Syeikh Syiah Hudam) saat
melewati malam pertamanya.
#MOHD ABUDUS SYAKUR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar