Minggu, 14 Oktober 2012

Tradisi Pernikahan Jepang

alt



  

   Tradisi Pernikahan
    Jepang






























     Di setiap negara mengakui sucinya pernikahan melalui sebuah upacara pernikahan, tidak semuanya dibuat sama. Tradisi pernikahan di suatu negara mungkin terlihat sangat asing bagi masyarakat di negara lain.

        Walaupun ada banyak cara untuk merayakan sebuah pernikahan di Jepang, namun kebanyakan pasangan mengikuti ritual tradisi Shinto. Shinto (cara-cara Dewa) adalah kepercayaan tradisional masyarakat Jepang dan merupakan agama yang paling populer di Jepang di samping agama Budha.
Saat ini, adat pernikahan bergaya Barat, seperti ritual pemotongan kue, pertukaran cincin, dan bulan madu, sering kali dipadukan dengan adat tradisional Jepang.
Upacara pernikahan Shinto sifatnya sangat pribadi, hanya dihadiri oleh keluarga dan kerabat dekat. Seringkali diadakan di sebuah tempat suci atau altar suci yang dipimpin oleh pendeta Shinto. Banyak hotel dan restauran yang dilengkapi dengan sebuah ruangan khusus bagi upacara pernikahan.
  
      Selama hari-hari keberuntungan tertentu dalam kalender Jepang, sangat lumrah untuk melihat lusinan pasangan mengikat janji dalam pernikahan Jepang di tempat suci Shinto.
Di awal upacara pernikahan, pasangan dimurnikan oleh pendeta Shinto. Kemudian pasangan berpartisipasi dalam sebuah ritual yang dinamakan san-sankudo. Selama ritual ini, mempelai perempuan dan pria bergiliran menghirup sake, sejenis anggur yang terbuat dari beras yang difermentasikan, masing-masing menghirup sembilan kali dari tiga cangkir yang disediakan.
Saat mempelai perempuan dan pria mengucap janji, keluarga mereka saling berhadapan (umumnya kedua mempelai yang saling berhadapan). Setelah itu, anggota keluarga dan kerabat dekat dari kedua mempelai saling bergantian minum sake, menandakan persatuan atau ikatan melalui pernikahan.

      Upacara ditutup dengan mengeluarkan sesaji berupa ranting Sakaki (sejenis pohon keramat) yang ditujukan kepada Dewa Shinto. Tujuan kebanyakan ritual Shinto adalah untuk mengusir roh-roh jahat dengan cara pembersihan, doa dan persembahan kepada Dewa.
Prosesi singkat ini sederhana dalam pelaksanaannya namun sungguh-sungguh khidmat. Maknanya untuk memperkuat janji pernikahan dan mengikat pernikahan fisik kedua mempelai secara rohani.
Apabila sepasang mempelai Jepang ingin melaksanakan pernikahan tradisional Jepang yang murni, maka kulit sang mempelai perempuan akan dicat putih dari kepala hingga ujung kaki yang melambangkan kesucian dan dengan nyata menyatakan status kesuciannya kepada para dewa.
Mempelai perempuan umumnya akan diminta memilih antara dua topi pernikahan tradisional. Satu adalah penutup kepala pernikahan berwarna putih yang disebut tsuni kakushi (secara harafiah bermakna "menyembunyikan tanduk"). Tutup kepala ini dipenuhi dengan ornamen rambut kanzashi di bagian atasnya di mana mempelai perempuan mengenakannya sebagai tudung untuk menyembunyikan "tanduk kecemburuan", keakuan dan egoisme dari ibu mertua - yang sekarang akan menjadi kepala keluarga.

       Masyarakat Jepang percaya bahwa cacat karakter seperti ini perlu ditunjukkan dalam sebuah pernikahan di depan mempelai pria dan keluarganya.
Penutup kepala yang ditempelkan pada kimono putih mempelai perempuan, juga melambangkan ketetapan hatinya untuk menjadi istri yang patuh dan lembut dan kesediannya untuk melaksanakan perannya dengan kesabaran dan ketenangan. Sebagai tambahan, merupakan kepercayaan tradisional bahwa rambut dibiarkan tidak dibersihkan, sehingga umum bagi orang yang mengenakan hiasan kepala untuk menyembunyikan rambutnya.

      Hiasan kepala tradisional lain yang dapat dipilih mempelai perempuan adalah wata boushi. Menurut adat, wajah mempelai perempuan benar-benar tersembunyi dari siapapun kecuali mempelai pria. Hal ini menunjukkan kesopanan, yang sekaligus mencerminkan kualitas kebijakan yang paling dihargai dalam pribadi perempuan. Mempelai pria mengenakan kimono berwarna hitam  pada  upacara pernikahan.

       Ibu sang mempelai perempuan menyerahkan anak perempuannya dengan menurunkan tudung sang anak, namun, ayah dari mempelai perempuan mengikuti tradisi berjalan mengiringi anak perempuannya menuju altar seperti yang dilakukan para ayah orang Barat.

       Seperti umumnya di Indonesia, para tamu yang diundang pada pesta pernikahan di Jepang, perlu membawa uang sumbangan dalam dompet mereka. Hal ini karena mereka diharapkan memberikan pasangan goshugi atau uang pemberian yang dimasukkan dalam amplop, yang dapat diberikan baik sebelum atau sesudah upacara pernikahan.

• ᴥ • Diva Pratiwi ( )

Tidak ada komentar: